Perjalanan Provinsi Maluku Utara yang telah berusia 24 tahun masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Slogan Sofifi Rumah Kita hanya pemanis dari kumuhnya tata kelola rumah besar bernama Sofifi.
Sofifi sebagai Pusat Pemerintahan, belum berjalan sebagaimana layaknya ibukota. Standar pelayanan publik pemerintah masih jauh dari yang diharapkan. Selain mahal akses rakyat ke Sofifi, Kantor Pemerintahan Sofifi tak lebih dari rumah kost dimana pegawai hanya masuk kantor seperlu saja.
Skema Kebijakan Percepatan Pembangunan ibukota sofifi hanya seputar wacana dan perubahan nominklatur tanpa implementasi yang jelas. Janji dan serimonial tersaji melaui pidato dan halaman depan berita. Rapat hanya menghasilkan rapat, loby menghasilkan loby dan pertemuan dari Sofifi hingga Jakarta sekedar Senetron Politik bahwa mereka sedang bekerja bukan bahwa mereka betul-betul serius bekerja.
Saya menatap jalan pemerintahan Provinsi Maluku Utara lebih menampilkan wajah kekuasaan ketimbang Institusi pelayanan publik. Setiap saat rakyat ditampilkan berita rolling dan mutasi jabatan tanpa tolak ukur yang jelas. Wajah birokrasi jauh dari Meritokrasi dimana sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial.
Aroma Feodalistik dan Kleptokrasi begitu menyengat dalam mekanisme penempatan jabatan birokrasi. Garis keturunan dan asal usul tanpa sadar dimasukkan dalam matriks pengambilan keputusan. Bahkan dalam banyak kasus jabatan birokrasi layaknya Lapak Dagangan. Ini semua akan bermuara pada hadirnya kultur _perburuan rente (Rent Seeking).
Saya melihat Pak Gubernur lemah karena tak didukung oleh tim work yang handal dalam mengelola dan menjalankan kebijakan pemerintah. Bahkan faksional tumbuh subur sebagai output dari gagalnya praktek Meritokrasi dalam birokrasi pemerintahan.
Dalam hal Fungsi Kordinasi Provinsi dengan Kabupaten Kota sangatlah lemah, belum lagi miskordinasi antar sektor. Padahal kunci keberhasilan pembangunan terletak pada bagus tidaknya Kordinasi. Krusial poin ini menurut saya harus fokus dibenahi dengan sangat serius jika tidak maka wibawa pemerintahan makin terpuruk dan peta jalan kemakmuran makin kehilangan navigasinya.
Dalam skala tertentu, saya juga melihat pemerintah provinsi dalam 24 tahun ini seolah tak mampu mengelola sumberdaya alam tambang negeri ini cerdas dan bijak. Bahkan terkesan pemerintah provinsi didikte oleh kepentingan oligarki tambang. Padahal tugas pemerintah provinsi harusnya mengendalikan investasi disektor untuk memastikan efek kemakmuran bagi rakyat dan menjaga lingkungan hidup kita tidak tercemar oleh operasi tambang. Dari Sagea, Lelilief, Wato Wato, Kao hingga Obi wajah ketamakan oligarki begitu jelas terpampang, dan harkat serta martabat pemerintah seolah terkubur dalam material tambang.
Di bidang politik, hubungan DPRD dan Pemda Provinsi masih hanya sebatas serimonial tanpa substansial. Padahal demokratis tidaknya suatu pemerintahan terlihat pada kuat tidaknya mekanisme check and balance antar institusi politik. Arah kebijakan yang dihasilkan mudah ditebak karena tanpa diskurus publik yang memadai. Padahal kebijakan yang baik harus dimulai dari ikatan keterlibatan rakyat dan elemen Civil Society
Akhirnya, saya berharap di usianya yang ke 24 tahun ini pemerintah provinsi Maluku Utara harus sudah memiliki peta jalan pembangunan yang jelas. Desain pembangunan tidak bisa lagi berdasarkan selera kekuasaan tetapi harus bersumber dari harapan dan tuntutan rakyat negeri ini. Dqn menurut saya ini faktor kunci, karena tanpa Navigasi Pembangunan maka provinsi ini hanya ada secara administrasi tetapi hampa dalam tujuan.
*) Oleh: Hasby Yusuf, aktivis Perjuangan Pemekaran Provinsi Maluku Utara 1999.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
Hak muat redaksi (*)