Kabar panas Rabu malam (28 Agustus 2024) itu benar-benar merisaukan. Ada informasi serius yang menyebut bahwa Ketua DPC PKB Sidoarjo H Subandi keluar dari partai yang dipimpinnya. Padahal, saat itu, PKB Sidoarjo sedang solid-solidnya.
Penasaran sekali. Agar mendapatkan jawaban dari sumber yang A1 (tepercaya), saya pun mengirim chat WA kepada beliau. Pertanyaannya serius. Sedikit pula berharap.
”Mengapa Abah keluar dari PKB? Jangan ya Bah.”
H Subandi ternyata tegas membantahnya. Saya ditelepon dan diberi penjelasan gamblang.
’’Saya tidak keluar dari PKB, Mas,’’ ujarnya pada Kamis (29 Agustus 2024). Penjelasannya membuat saya tercengang.
Kamis pagi itu, saya sedang mengikuti sebuah forum group discussion (FGD) di Umsida. Sama sekali belum yakin H Subandi benar-benar mengambil risiko politik sebesar ini: meninggalkan PKB. Apa iya seberani itu?
Menanggalkan jabatan sebagai ketua DPC PKB Sidoarjo bisa berarti kalah pilkada. Padahal, ada pilihan lain yang jauh lebih mudah. H Subandi ditawari berpasangan dengan sesama kader PKB sebagai calon bupati dan calon wakil bupati Sidoarjo.
Kalau itu terjadi, Pilkada Sidoarjo 2024 sangat mungkin cepat’’berakhir’’. Sebab, hanya satu pasangan calon kuat yang maju. Kamis, 29 Agustus 2024 pukul 00.00, merupakan batas waktu pendaftaran pasangan calon. Kalaupun ada perpanjangan, masa pendaftaran, itu cuma ada beberapa hari.
Tidak gampang bagi partai-partai lain mencari figur sekuat H Subandi dan Mas Iin. Kuat popularitas, like-abilitas, elektabilitas, maupun isi tas. Sebab, Abah Sugiono ’’Apik’’ sudah menarik diri dari kontestasi sehari sebelumnya, Rabu (28/8/2024). Dengan gagah, teduh, dan lapang dada.
Mengapa H Subandi tetap meninggalkan PKB? Kronologi itu pernah ditulisnya panjang dan sudah dimuat di berbagai media. Belum ada yang berani membantahnya secara terbuka. Di media apa pun juga. Tapi, bagi saya, cuma argumentasi ini yang penting.
H Subandi mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk bila partai-partai besar yang telah berkoalisi dicampakkan begitu saja. Apa jadinya pemerintahan Kabupaten Sidoarjo jika dirinya mengkhianati kepercayaan mitra koalisi. Betapa marahnya partai-partai lain.
Partai Gerindra, PDIP, Partai Golkar, dan lain-lain adalah kekuatan politik yang telah lama mewarnai pemerintahan Kabupaten Sidoarjo. Semua telah mengeluarkan rekomendasi masing-masing. Baik untuk H Subandi maupun Mas Iin. Dan, tentu saja, di sana tertera tanda tangan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, maupun tokoh-tokoh bangsa lainnya.
Tidak etis dan tak elok bagi siapa saja yang berani mencederai kepercayaan beliau-beliau itu. Apalagi, seorang politikus lokal. Karirnya bisa habis. Entah dengan cara bagaimana. Konyol.
Alasan H Subandi memukau saya. Lelaki 52 tahun itu menjelaskan bahwa dirinya tak ingin kondisi sosial-politik Kabupaten Sidoarjo memburuk. Tidak kondusif antara legislatif dan eksekutif. Penuh perselisihan. Muncul perpecahan di masyarakat.
Pembangunan bisa terancam mandek. Kondisi itu sangat mungkin terjadi bila dirinya memilih egois. Cuma mengejar jabatan. Tetap mencalonkan diri dari PKB. Sudah pasti menang.
Faktanya, H Subandi benar-benar bernyali. Dia meminta izin dari pengurus DPW dan DPP PKB untuk maju di Pilkada Sidoarjo 2024 dari partai lain.
Risikonya jelas. Perjuangan politiknya menjadi sangat sulit. Rekom PKB jatuh kepada orang lain. Siapa pun tahu beratnya mengalahkan PKB di Sidoarjo. Berkali-kali pemilihan bupati, kemenangan PKB tidak terhenti.
H Subandi lebih memilih jalan yang terjal. Berani. Pengorbanannya berlipat-lipat. Berbagai fitnah dihadapinya. Beragam tekanan mendera keluarganya. Anak maupun istri diintimidasi. Diancam. Namun, semua disikapinya dengan tenang. Demi menjaga kondusivitas daerah, masa depan Sidoarjo.
Sosok Abah Subandi (panggilan akrab H Subandi) lalu mengingatkan saya kepada tokoh Maximus dalam film The Gladiator. Rilis tahun 2000 di Los Angeles, Amerika Serikat. Film yang dibintangi oleh Russell Crowe (Jenderal Maximus) itu menceritakan kehidupan seorang jenderal kharismatik di zaman Romawi. Cerita kepahlawanan atau epos Jenderal Maximus yang sangat heroik.
Dia kuat. Tangguh. Panglima perang. Dicintai rakyat. Bahkan, selalu dibanggakan-banggakan oleh Kaisar Marcus Aurelius (diperankan oleh Richard Harris) yang sudah menua. Rambut memutih. Tubuh telah renta.
Sebelum meninggal, Kaisar Marcus Aurelius ternyata tidak mau memilih Commodus (diperankan Joaquin Phoenix) sebagai pewaris tahtanya. Di mata sang ayah, Putra Mahkota Commodus dinilai tak punya moral baik untuk menjadi seorang raja.
Kaisar Marcus Aurelius lebih suka Jenderal Maximus sebagai penerus tahta. Calon pemimpin kerajaan. Pengorbanan dan dedikasinya kepada Kerajaan Romawi telah terbukti. Teruji. Berbagai pertempuran telah dimenangkan. Hatinya tulus.
Putra Mahkota Commodus rupanya tahu itu. Dia sedih bukan kepalang. Juga marah tiada terhingga. Dia akhirnya nekat merebut kekuasaan dengan ambisi nan membara. Dalam sifat hasut yang membakar, si anak durhaka menghabisi ayah kandungnya sendiri. Kaisar Marcus Aurelius tewas saat tidur. Dia belum puas.
Commodus lantas berusaha membersihkan semua penghalang menuju tahta raja. Salah satunya, menangkap Jenderal Maximus. Menjebloskannya ke dalam penjara. Itu pun belum membuatnya puas. Commodus terus meneror.
Dia memfitnah Jenderal Maximus sebagai pemberontak. Pengkhianat kerajaan. Bahkan, dia memerintahkan segerombolan pasukan untuk membunuh istri dan anak Jenderal Maximus. Dua manusia yang tak berdosa itu dibantai sekaligus.
Namun, Jenderal Maximus dilahirkan untuk menjadi lelaki terkuat. Hatinya tenang. Raut wajahnya tegas. Berkarakter. Otot-ototnya tumbuh sejak masih kanak-kanak. Dia memang ditempa untuk menjadi manusia yang tak kenal menyerah.
Tibalah saatnya Jenderal Maximus berhadapan dengan Commodus, si ambisius. Sebuah pertempuran terbuka. Disaksikan seluruh rakyat Kerajaan Roma.
Maximus sendiri. Gentleman. Commodus bertempur dengan membawa satu regu pasukan. Dia bahkan menusuk lebih dulu Maximus dengan pisau. Sebelum pertarungan dimulai. Main keroyokan.
Maximus tetap berduel dengan gagah. Kaki-kakinya masih mencengkeram tanah. Tangan-tangannya yang kekar membuatnya selalu tampil gagah perkasa. Hatinya untuk rakyat Roma. Simpati pun membanjir ke arena. Colloseum nan megah menjadi saksi mata, hati, dan nurani yang terbuka. Manusia-manusia yang tulus membelanya.
Gegap gempita terdengar. Lautan manusia berseru.
”Maximus.”
”Maximus.”
”Maximus.”
”Maximus.”
”Maximus.”
Jenderal Maximus menguasai medan pertempuran. Dia adalah Petarung Nomor 1. Sang Pahlawan Rakyat Roma itu pun akhirnya menang. Menang. Menang. (*)
*) Fathur Roziq, redaktur dan jurnalis senior Ketik.co.id yang bertugas di Sidoarjo
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
*) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
**) Ketentuan pengiriman naskah opini:
• Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
• Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
• Panjang naskah maksimal 800 kata
• Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
• Hak muat redaksi