Bajo, Manggarai dan Komodo: Potret Toleransi Tanpa Basa-basi

Editor: Mustopa

2 September 2024 12:34 2 Sep 2024 12:34

Thumbnail Bajo, Manggarai dan Komodo: Potret Toleransi Tanpa Basa-basi Watermark Ketik
Oleh: Sholehuddin*

Perjalanan membersamai peserta Orientasi Pelopor Penguatan Moderasi Beragama (OPPMB) Biro Kepegawaian Kemenag di Labuan Bajo menyisakan cerita menarik. 

Selain di antara peserta yang sebagian besar generasi "Z" dan milenial, mereka ada yang mengaku pernah hampir terpapar sewaktu kuliah dan sekarang tersadar setelah sang ibu menangis. 

Ada juga yang mengaku selama ini termakan berita-berita provokatif di media sosial. "Dua hari ini saya merasa terbuka pola pikir saya," ujar salah seorang peserta. Mereka mengapresiasi kegiatan orientasi. Sebab, kegiatan ini telah mengubah cara pandang beragama para alumni. 

Mengenal Labuan Bajo

Labuan Bajo merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Labuan Bajo juga merupakan pusat pemerintahan dari Kecamatan Komodo dan sekaligus merupakan ibu kota Kabupaten Manggarai Barat. 

Bajo sendiri, sejatinya nama pulau tidak berpenghuni. Yang menamainya suku Bajo, dikenal sebagai petualang asal Sulawesi. 

Suku Manggarai dan interaksi sosialnya

Masyarakat Manggarai sangat egaliter. Mayoritas masyarakatnya pemeluk Katolik. Mereka bisa hidup berdampingan dan saling kerja sama dalam segala hal seperti usaha bahkan ibadah dengan umat dan suku lain. 

Malam itu saya bersama rombongan mencoba kuliner ikan bakar dekat pelabuhan. Hampir semua penjualnya muslim. "Saya jamin pak, makanan di tempat ini halal," ujar seorang penjual sambil menjelaskan jenis ikan yang tersedia. Saya melihat label Halal BPJPH di setiap stand. 

Begitu pula ketika meluangkan waktu menyusuri keindahan Labuan Bajo, pemandunya umat Kristiani tapi bagian perantara 'speed boot' perempuan muslimah asal Surabaya. Pemandu dengan rambut gimbal ini melayani dengan ramah. 

Dengan dibantu dua anak magang dari sekolah kejuruan tourism, berkali-kali ia minta maaf karena salah satu group rombongan ada yang tidak sesuai rute. Hal ini dipicu adanya mis komunikasi dengan pihak boot. Sikap gentlemen ini kami apresiasi. 

Komodo: Bukan Sekadar Pulau

Begitu sampai di Pulau Komodo, kami disambut seorang pemandu. Rombongan kami diajak keliling. Dengan ramah dia juga melayani foto dengan Komodo. Para pemandu kebanyakan warga lokal. 

Komodo sejatinya bukan nama pulau ansih. Selama ini dikenal karena binatang purbanya. Padahal, sejatinya pulau ini juga dihuni penduduk. Mereka tidak lain adalah Suku Komodo. Tidak kurang dari 2000 jiwa penduduk Suku Komodo, selisih sedikit dengan binatang Komodonya yang berjumlah 1500-an ekor. 

Kami bersama rombongan mewawancarai Pak Bahar, pengrajin ukiran komodo. Beliau bernada 'curhat', merasa heran, kenapa setiap tamu yang datang selalu bertanya, apakah ada penduduk lokalnya. Pak Bahar mengaku yang viral selama ini hanya binatangnya, bukan manusianya. 

Yang tidak kalah menarik, komodo di pulau ini hidup berdampingan dengan penduduk lokal. Konon kabarnya, ada mitos bahwa dulunya binatang komodo itu saudara kembar suku komodo. 

Makanya, komodo tidak pernah menyerang penduduk lokal. Tidak jarang komodo kecil naik dan masuk rumah penduduk. Jika makan binatang piaraan seperti kambing, oleh warga langsung diberikan. Seperti menyuguhkan makanan kepada kerabatnya yang sedang bertamu.

Pak Bahar melanjutkan ceritanya bahwa penduduk Suku Komodo semuanya muslim dan saat ini sedang merenovasi sebuah masjid. Memang tampak sekali jika penduduknya muslim.

Hal itu terlihat para pedagang oleh-oleh memakai songkok haji berwarna hitam. Penjual makanan yang kebanyakan ibu-ibu juga memakai jilbab. Semula saya mengira mereka adalah pendatang asal Bugis, ternyata warga asli suku Komodo.

Toleransi Tanpa Basa-basi, Egaliter dan Saling Mengasihi 

Suku Manggarai dalam kehidupan sosial tidak lepas dari filosofi, "Momang sama tau" yang artinya mengasihi satu sama lain tanpa memandang asal usul, ras dan agama. Mental model ini dimiliki masyarakat Suku Manggarai. Adalah Pak Floresianus Sudirman, warga Labuan Bajo bersuku Manggarai.

Saya mengenal beliau tatkala berada di pesawat yang duduknya bersebelahan. Saat itu beliau bersama istrinya sudah duduk duluan. Saya kebagian duduk di sebelah jendela. Dengan tersenyum ramah saya disilakan menempati kursi. 

Di saat saya ambil video panorama laut dan gunung yang indah. Dia berucap, "Bagus ya pak?" tanya Pak Flore. "Ya pak, bagus sekali," timpal saya. Saya pun berkenalan dengannya yang ternyata beliau asli suku Mangggarai, tinggal di Labuan Bajo. 

Saya pun memulai perbincangan. Menurutnya, masyarakat Manggarai yang mayoritas Umat Katolik, sangat 'welcome' kepada umat lain, termasuk muslim. Bahkan, keluarganya juga banyak yang muslim. Dia tak segan-segan mengingatkan kepada keponakan sepupu yang muslim agar menjadi muslim yang taat.

Satu saat tepat hari Jumat, keponakan yang muslim ini berkunjung ke rumahnya. Dilihatnya enggan jumat-an, dia langsung menegurnya, "Ambil sajadah, berangkat kau ke masjid," perintahnya. "Untuk apa kamu menjadi muslim jika tidak taat," tegasnya. 

Bagi pak Flore, hidup ini sementara, maka berbuat baik tidak boleh ditunda, kepada siapa saja. Berbuat baik menurutnya tidak memandang agama. Dia meyakini kebaikan yang disemai bersama-sama akan menjadikan hidup ini damai bersama pula. 

Dan, semua manusia memiliki kepentingan yang sama dalam meraih kedamaian. Karena itu menurutnya, di Kabupaten Manggarai pada umumnya, praktik saling membantu dalam ibadah lintas agama sudah lama berjalan. 

Jika perayaan ibadah umat Kristen dan Katolik, pemuda muslim yang menjaganya. Sebaliknya, ketika perayaan ibadah umat Islam, para pemuda Kristiani yang menjaga. Inilah yang sebut toleransi tanpa basa basi. Artinya, toleransi berlangsung secara kultur dan membudaya. 

Di lingkungan kerja sebagai pengawas sekolah, ia juga kerap mengajak rekan kerja menjaga harmoni. "Coba dicek di kitab suci, mana ada yang mengajarkan kekerasan," ujarnya kepada teman temannya. Wajar, jika pak Flore menjadi tempat sharing teman-temannya.

Mental model seperti Pak Flore penting dimiliki setiap umat beragama. Tujuannya untuk merawat keberagaman. Jika mental model umat beragama salah, bisa memicu tindak kekerasan berbasis agama. 

Bajo, Manggarai dan Komodo telah memberikan pelajaran penting arti toleransi tanpa basa basi. Toleransi bukan sekadar slogan dan seremonial, tapi diterapkan dalam kehidupan. 

*) Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Widyaiswara BDK Surabaya dan instruktur nasional Penguatan Moderasi Beragama Kemenag RI.

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

komodo Manggarai Bajo opini Labuan Bajo