Dongeng Socrates, Kebangkrutan Media dan Buruknya Tulisan Jurnalis

Editor: Marno

16 Mei 2023 00:32 16 Mei 2023 00:32

Thumbnail Dongeng Socrates, Kebangkrutan Media dan Buruknya Tulisan Jurnalis Watermark Ketik
Oleh : Djoko Pitono *

"Talent alone cannot make a writer; there must be a man behind the book."

Ralph Waldo Emerson

Syahdan dari yang empunya kisah, ketika bangsa Yunani mulai mengenal huruf yang disebut alfabet, Socrates masihlah belum mengenal aksara. Oleh karena itu, seandainya Plato, sang murid, tidak merekam dialog-dialog sang guru dan muridnya, karya-karya filsuf besar itu pun tidak akan pernah sampai kepada kita. Meskipun begitu, Plato mengikuti pendapat gurunya bahwa tulisan dapat menumpulkan ingatan manusia.

Prof Dr Wuri Soedjatmiko, Guru Besar Bahasa Inggris di Universitas Widya Mandala Surabaya, suatu saat berkisah tentang dongeng Socrates mengenai dewa Mesir yang terkenal Thoth, penemu berbagai kreasi seperti ilmu hitung, geometri, astronomi. Penemuannya yang terbesar adalah tulisan.

Thoth berkata, "Dengan memakai tulisan, bangsa Mesir akan menjadi makin bijak dan akan memiliki ingatan yang lebih baik. Tulisan merupakan alat yang sangat khas bagi ingatan dan kebijaksanaan."

Tapi Raja Thamus berkata: "O Thoth yang maha pintar, seorang penemu tidak selamanya dapat menentukan manfaat temuannya. Dan dalam hal ini, sebagai bapak tulisan, Engkau telah terusik untuk memberikan kualitas yang tidak mungkin dimiliki anak-anakmu.

Penemuan ini hanyalah membawa kealpaan bagi para pelajar karena mereka, tidak akan menggunakan ingatan mereka lagi. Mereka akan bergantung pada huruf-huruf yang tertulis di luar kepala mereka dan tidak lagi percaya akan kekuatan ingatan mereka sendiri.

Penemuanmu tidak merupakan alat bantu bagi ingatan tetapi penyebab kepunahan. Engkau bukannya memberi murid­-muridmu kebenaran, tetapi sekedar sesuatu yang mirip kebenaran.”

Menurut Prof Wuri, sekarang kita hidup dalam segala jenis keberaksaraan. Informasi tertulis berlimpah ruah di atas kertas maupun di dunia maya. “Dengan informasi tulis yang tak terhingga ini, tidak dapat kita bayangkan apabila kecurigaan Socrates terhadap tulisan ini berlanjut hingga masa sekarang,” katanya.

Apa yang disampaikan Prof Wuri tersebut benar belaka. Dan di saat kita berbicara literasi, tentang buku-buku dan ketrampilan menulis, kita perlu sejenak mengingat dongeng Socrates tersebut. Keberadaan tulisan bahkan sekarang sudah menjadi ukuran budaya bangsa.

Apabila suatu bahasa tidak dapat mewadahi pemikiran-pemikiran dan inovasi kemajuan ilmu pengetahuan, bisa-bisa penutur bahasa tersebut diberi label primitif.Kekayaan sastra juga merupakan ukuran tingkat budaya bangsa.

Buku-buku cerita anak, remaja serta karya sastra klasik dan kontemporer di negara maju menempati tempat yang luas baik di toko buku maupun perpustakaan. Kemampuan menulis juga menjadi ukuran keterpelajaran seseorang. Dalam dunia akademik, keunggulan ilmiah diukur dari frekuensi disitirnya suatu tulisan ilmiah oleh peneliti lainnya.

Hingga sekarang, pembicaraan tentang buku-buku dan ketrampilan menulis kaum terpelajar di negeri ini banyak dipenuhi keluhan. Ini negeri nol buku. Para guru dan dosen tak tertarik menulis, apalagi menulis buku. 

Tak terhindarkan memang keluhan-keluhan seperti itu. Apalagi dewasa ini, saat penggunaan media sosial lewat internet makin menyeruak ke mana-mana. Di Frankfurt Book Fair pada Oktober 2017, saya pun sempat mendengar diskusi bagaimana Jerman pun terguncang oleh menurunnya minat baca dan menulis, terutama generasi muda. Pengaruh medsos memang luar biasa 'merusak' dan belum semuanya dapat diprediksi.

Namun, rasanya lebih baik kita melihat fakta lain yang juga menggembirakan bahwa dunia anak-anak muda yang sangat antusias dalam kegiatan membaca dan menulis. Berbagai pelatihan menulis dilakukan di berbagai sekolah/universitas dan juga institusi lain. Berbagai kegiatan tersebut patut diapresiasi.

Teramat banyak untuk mendaftar apa saja manfaat menulis. Maju tidaknya suatu bangsa dapat dilihat antara lain dari jumlah karya tulis yang diciptakan dan dibaca oleh anggota masyarakat. Karya-karya itu dapat berupa buku, tulisan-tulisan di jurnal-jurnal ilmiah, dan juga artikel-artikel ilmiah populer di media massa lainnya. Berbagai karya tulis itu dibutuhkan untuk mencerdaskan masyarakat.

Manfaat menulis untuk pribadi juga banyak. Menulis merupakan aktivitas yang paling tinggi nilainya bagi manusia terpelajar. Ini wajar karena menulis merupakan ketrampilan berbahasa paling tinggi setelah ketrampilan mendengar, berbicara dan membaca.

Banyak orang besar atau tokoh yang berhasil dalam bidangnya mengawali kariernya dengan menulis dengan baik. Banyak presiden Amerika yang pintar menulis, di antaranya John F. Kennedy, Bill Clinton, dan Barack Obama. “Kalau Anda menulis, Anda tidak akan pernah kalah karena Andalah yang menentukan segalanya,” kata Obama dalam sebuah buku karyanya.

Lee Iaccoca, Presiden Direktur Ford Corporation di era 1970-an, selalu menekankan pentingnya ketrampilan komunikasi, termasuk menulis, bagi karyawan pabrik mobil tersebut. Sebagai CEO yang mengawali karirnya sebagai salesman mobil dari pintu ke pintu, dia paham benar bertapa pentingnya kemampuan komunikasi.

Oleh bos yang insinyur mesin itu, para manajernya yang tidak trampil menulis diminta ikut kursus-kursus menulis. Kepada putrinya, Iacocca juga menekankan pentingnya hal tersebut. “Kamu bisa belajar apa saja. Yang paling penting, bahasamu harus baik, lisan maupun tulisan” kata Iacocca, dalam bukunya, Iacocca: An Autobiography yang ditulisnya bersama William Novak.

Cerita tentang ketrampilan komunikasi ternyata masih menjadi topik menarik 30 tahun kemudian di Amerika. Ini terkait dengan kisah kebangkrutan berbagai surat kabar cetak. Berbagai surat kabar terkemuka seperti The Times-Picayune bangkrut setelah hampir 200 tahun (terbit pertama kali tahun 1837).

Laporan dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, juga tidak berbeda. Apa penyebab kemerosotan berbagai media terkemuka tersebut? Dalam situasi demikian, paling gampang memang mencari kambing hitam.

Dan kambing hitam yang paling mudah adalah perkembangan teknologi komunikasi seperti internet dan medsos seperti Facebook, WA, Instagram dan sejenisnya. Sekarang eranya serba digital, media cetak kertas sudah kuno dan ketinggalan zaman. Begitu kata sebagian kalangan.

Dalam batas tertentu, pengaruh Internet dan medsos memang tidak dapat dinafikan. Tetapi sebagian besar masalah media cetak terkait dengan terbatasnya kemampuan melakukan inovasi menghadapi perkembangan selera masyarakat.

Selain itu, kebanyakan awak media terlalu asyik memupuk egonya sehingga cenderung tidak bersedia mengubah sikap terhadap perkembangan baru jurnalisme.

Dalam kaitan ini, apa yang disampaikan oleh jurnalis senior dan penulis biografi terkemuka Walter Isaacson patut diperhatikan. Dalam ceramahnya di National Press Club pada 14 Mei 2012, Isaacson mengatakan, media massa dewasa ini dipenuhi opini dan omong kosong.

Menurut Isaacson pula, wartawan harus selalu berlatih menulis dan bereksperimen terus-menerus.

“Kekuatan wartawan terletak pada pelaporan, berkisah, dan bertutur dalam ragam sastra. Dalam proses internalisasi di perusahaan, kekuatan dan sosok masing-masing wartawan memperkuat kepercayaan masyarakat,” kata Isaacson.

Apa yang dikatakan oleh Isaacson tersebut 100 persen benar. Di Indonesia, terbukti media cetak.yang bertumbangan atau kembang kempis hidupmya antara lain adalah media yang penuh dengan opini-opini yang menjenuhkan.

Berita-berita opini memang paling mudah membuatnya. Tinggal menelpon sumber berita dan menyesuaikan berita yang akan ditulis dengan arahan pemilik media atau keinginan penulisnya.

Sebaliknya, menulis laporan jurnalistik dengan berkisah, apalagi dalam ragam sastra sangatlah tidak mudah. Tidak mudah terutama bagi wartawan yang tidak memiliki kebiasaan membaca buku, apalagi novel-novel yang bagus dan berbobot.

Tidak sedikit wartawan “senior” yang sudah 30 tahun menjadi wartawan praktis tidak membaik kemampuan menulisnya sejak awal menjadi wartawan. Sebaliknya, wartawan yang memang rajin membaca sejak muda (masa kecil), akan mampu menulis dengan baik. Contohnya adalah Dahlan Iskan, yang puluhan tahun jadi Bos Jawa Pos Group. Juga menjadi Menteri BUMN.

Tulisan-tulisan Dahlan, yang bertutur dan ‘menyastra” selalu diikuti ribuan pembacanya. Tulisan bersambung menyangkut transplantasi livernya pada 2007 mengaduk-aduk perasaan pembaca yang tak terhitung jumlahnya.

Ketika tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan, bukunya jadi best seller. Begitu juga tulisan-tulisan setelah dia menjadi Dirut PLN, yang dikumpulkan dalam buku Dua Tangis dan Ribuan Tawa.

Sekarang, setelah lepas dari jabatan Menteri BUMN dan juga tidak lagi memimpin Jawa Pos, Dahlan Iskan tetap menulis. Lewat DI’Way, tulisan-tulisannya yang mengalir nyaris setiap hari, dibaca oleh ribuan orang. Meski tetap sangat sibuk dengan beragam aktivitasnya, Sang Begawan Media itu tetap membaca buku, terutama novel.

Dia tidak bisa meninggalkan kebiasaan membacanya, setidaknya sebulan satu novel. Kebiasaan baca yang dimilikinya sejak sekolah menengah dalam keadaan keluarga sangat miskin di desanya, Takeran, Magetan. Media yang dibacanya pinjam sana-sini.

Mereka yang mampu menulis dengan baik memang pantas bersyukur karena penelitian di sejumlah negara menunjukkan bahwa masyarakat terdidik “semakin sulit” menulis dengan baik.

Mantan Menteri Pendidikan Amerika Serikat William Bennett era 1980-an, misalnya, mengakui hal itu. Bennett menunjukkan, kurang dari 40% siswa SMA di Amerika dapat membaca surat kabar dengan baik, sementara hanya 2% yang dapat menulis dengan jelas, “detailed and coherent narrative.”

Kecenderungan yang diakibatkan antara lain makin dominannya media elektronik itu kemudian mendorong berdirinya The National Commission on Writing in America's Schools and Colleges, sebuah lembaga nasional yang mempromosikan kegiatan menulis di sekolah dan perguruan tinggi. Komisi mengeluarkan laporan setiap tahunnya.

Dari apa yang berkembang dalam beragam diskusi, ada kekurangsadaran bahwa ketrampilan menulis tak bisa dipisahkan dari kebiasaan membaca. Dalam kaitan ini, tak ada penulis yang muncul tanpa kebiasaan membaca.

Kebiasaan ini mutlak dimiliki bila seseorang ingin menjadi penulis. Kebiasaan membaca akan banyak menentukan dalam membentuk kemampuan mengorganisasi pikiran dan disiplinnya.

Seperti diungkapkan penyair Amerika, Ralph Waldo Emerson, “Talent alone cannot make a writer; there must be a man behind the books.”(*)

*) Djoko Pitono, Veteran Jurnalis, editor buku di JPBooks, Jawa Pos

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

Naskah dikirim ke alamat email [email protected]. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek

Panjang naskah maksimal 800 kata

Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP

Hak muat redaksi

Tombol Google News

Tags:

Kebangkrutan media Jurnalis