Pendidikan menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Kejayaan hanya akan mampu diraih dengan kecerdasan para rakyatnya. Salah satu yang menjadi penyokongnya utama adalah guru.
Negara yang mengharapkan kemakmuran serta kekuatan dari segala lini kehidupan pasti memperbaiki pendidikan di negerinya. Hal yang sangat fundamental bahkan menjadi jantung bagi jatuh bangun nya peradaban. Bila ditinjau dari berbagai negara di dunia, akan terlihat perbedaan yang sangat signifikan perhatian serta keseriusan negara hadir sebagai fasilitator dalam memajukan keberadaan pendidikan.
Berdasarkan rilis data laman world population review, dari laporan OEDC(Organisation for Economic Co-operation and Development) bahwa negara dengan gaji guru tertinggi/ tahun posisi 1.Swiss (USD 110.000/ Rp,1,57 M) 2. Luxemburg (USD 100.000/ Rp1,43M) 3. Kanada (USD 74.000/ Rp 1 M) 4. Jerman (USD 700.000/Rp 10 M) 5. Belanda (USD 67.000/958 Juta ) 6.Amerika Serikat ( Rp.858 Juta) 7. Irlandia (Rp 767 Juta) 8. Denmark ( Rp 743 Juta) 9. Austria (Rp 715 juta) 10. Australia ( USD 60.000/ 715 Juta) dan Indonesia berada pada urutan ke-30 dengan gaji (USD 2.830 /43.580 juta ) bila dihitung rata- rata guru PNS.
Hal ini sangat miris bila dikalkulasikan dengan APBN tahun 2023 sebesar 3.061 triliun dengan anggaran pendidikan yakni Rp608,3 Triliun dan 305 Triliun di antaranya ditransfer ke daerah dan dana desa.
Sedangkan anggaran yang dikelola Kemendikbud Ristek hanya2,7% dari APBN atau Rp29 Triliun. Seyogyanya anggaran yang besar akan mampu menutupi kekurangan problematika kesejahteraan guru.
Namun faktanya hingga hari ini, guru berjumlah sekitar 3 juta orang dengan rincian 1,6 juta PNS (Rp.1,4-Rp 5,6 Juta), Non-PNS 717.000( Rp.200.000) , dan Guru tidak tidak tetap 91.000. kenyataan ini menjadi catatan penting bagi para pemimpin negeri yang mempropagandakan kemajuan negara dan kesejahteraan namun tidak memperbaiki pendidikan.
Seiring berjalannyanya waktu pendidikan dipandang sebagai lingkup industri yang memiliki batas waktu dan nilai hingga guru dimasukkan dalam marketplace layaknya barang dengan mudah dipilih oleh kebanyakan orang.
Kebijakan hari ini yang ditampilkan oleh KemendikbudRistek seolah guru tidak punya harga diri yang bisa dipilih oleh sekolah manapun yang berminat dengan latar belakangnya. Kebijakan yang tidak berdasarkan filosofi seorang guru yang sangat tidak ternilai harganya sebagai garda terdepan untuk mendidik generasi bangsa.
Tidak mengherankan jika kebijakan yang hadir belakangan ini menginterpretasikan negara mengelola industri dan semua harus menguntungkan semua hal yang tidak produktif tidak mendapat tempat dalam negara.
Dalam pemaparan yang pernah disampaikan oleh Ahli Tata Negara Dr. Irmanputra Sidin,S.H.M.H dalam acara ILC “semakin negara menggunakan instrumen pidana untuk menyelesaikan masalahnya, semakin malasnya negara itu semakin tidak mampu ia menjalankan fungsinya melindungi segenap bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa memajukan kesejahteraan umum, satu satunya instrumen yang dipatok oleh APBN adalah pendidikan. Dengan tujuan pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa iman ilmu dan akhlak.”
Pada hakikatnya pendidikan menjadi ajang untuk meningkatkan kecerdasan dengan mengurai masalah dan menyelesaikannya. Bila dilihat dari prioritas kebijakan pendidikan nasional yang disampikan oleh Lant Pritchett dalam acara workshop RISE pada 2 Agustus 2022, terdapat 5 kebijakan yang akan dikerjakan untuk memperbaiki pendidikan nasional.
(1) Komitmen terhadap pengusaan kemapuan dasar literasi dan numerasi
(2) Mengukur pembelajran secara berkala,akurat, dan relevan
(3) Menyelaraskan sistem dengan komitmen pembelajaran
(4) Mendukung guru dalam proses belajar mengajar
(5) Mengadaptasi pendekatan dalam mengambil kebijakan pendidikan.
Kepedulian pada Guru
Dalam kajiannya seharusnya permasalahan yang mendasar pada pendidikan diatasi segera oleh Kementerian terkait yang punya beban dalam menjadi penopang utama menghadirkan keadilan untuk keseluruhan rakyat.
Diantara problem mendasar yang ada ialah (1) bahwa pendidikan khususnya di Indonesia menghadirkan “manusia robot” (2) sistem pendidikan yang Top –Down (dari atas kebawah) atau istilah Paulo Freire (tokoh pendidik Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank dan (3) gaya pendidikan demikian hanya akan memenuhi zaman bukan justru menjadi kritis terhadap zamannya.
Problematika pendidikan di daerah dan kota sangat jauh berbeda namun kebijakan yang dikeluarkan justru tidak menyentuh ranah tersebut seolah hal itu tidak ada ketimpangan sama sekali. Berlanjut pada nasib guru di daerah yang tidak hanya dibebani dengan berbagai administrasi lalu ditambah dengan beratnya bertahan pada daerah yang serba kekurangan yang jauh dari kenyamanan. Namun dengan rasa dan jiwa yang telah melekat sebagai seorang guru, apapun yang terjadi akan dilewati oleh guru-guru di daerah.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek, jumlah guru yang lulus menjadi guru PPPK sebanyak 544.292 orang pada tahun 2021-2022. Kebutuhan guru pada 2021 sekitar 1.244.961 orang, namun formasi yang diajukan pemerintah daerah 506.252 orang (44 %). Kebutuhan guru pada 2022 sebanyak 781.844 orang, tetapi formasi yang diajukan pemerintah daerah 319.029 orang (41 %). Maka masih dibutuhkan 601.286 guru untuk sekolah negeri pada 2023. Namun formasi yang disiapkan pemerintah daerah hanya 278.102 guru atau 46%.
Beban Moral Pendidik
Sebagai seorang guru tentu akan memberikan semua hal yang ia miliki untuk ia ajarkan pada siswanya. Namun perlakuan yang tidak pantas kerap kali didapatkan oleh guru-guru bahkan yang menyakitkan, guru menjadi pelaku dalam pemberitaan di media.
Terjadi di Bengkulu guru di pukul oleh siswa sendiri, di Lima puluh kota Sumbar siswa membentak dan berkata kotor pada gurunya dan guru diperintah dinas pendidikan meminta maaf, di Kendari guru dikeroyok siswanya, selanjutnya guru di SMK Serpong dibentak dan siswa berkata kasar, di Kupang Guru dianiaya siswa sendiri, hingga di surabaya siswa SD melawan hingga memaki guru karena ditegur merokok.
Berbagai persoalan diatas hanya sampel dari banyaknya kasus yang harus diselesaikan di pendidikan terutama perlakuan yang diterima guru tidak sebanding dengan kesejahteraan yang ia dapatkan.
Dalam hal ini seharusnya negara hadir dengan memberikan solusi yang rasional dan efisien bukan justru memperumit keadaan dengan berbagai administrasi dan perubahan kurikulum. Guru tidak anti dengan perubahan namun sebagai manusia yang punya kebutuhan hidup harus menjadi tanggung jawab negara memberikan gaji yang setimpal.
Pekerjaan yang melibatkan seluruh daya upaya pikiran dan tenaga dikerahkan bahkan tidak jarang juga menguras emosional guru, namun tetap dalam pendirian menjaga keharmonisan dan mengajarkan nilai-nilai yang baik untuk anak bangsa
Peran Aktif Masyarakat
Dalam perkembangannya guru selalu dalam keadaan terjepit mulai dari tekanan atasan atau pimpinan sekolah, aturan pendidikan, beban admnistrasi dan berbagai aduan dari orang tua dan masyarakat. Sudah seharusnya masyarakat berbenah dalam memandang profesi guru terlebih lagi saat ini menjadi guru bukan hal mudah dengan berbagai konsekuensi menghadapi perilaku anak-anak korban teknologi.
Dengan hadirnya kemudahan lewat teknologi para siswa tidak lagi memperhatikan tingkah laku yang baik kepada orang lain terlebih pada gurunya. Maka peran aktif orang tua dibutuhkan untuk mengajarkan karakter dan nilai yang baik pada anaknya, mengingat seyogyanya memang orang tua yang mengajarkan dan membentu karakter anak di rumah lalu guru yang mengarahkan sesuai dengan minatnya.
Namun yang terjadi hari ini, siswa dititipkan di sekolah dengan harapan guru mampu mendidik dan mengubah anak menjadi sesuai harapan orang tua masing-masing tanpa peran dari orang tua. Ketimpangan akan terjadi yakni guru yang hanya sebagian orang dan mendapat beban membentuk karakter anak ratusan bahkan ribuan di sekolahnya.
Peran aktif para tokoh masyrakat sangat dibutuhkan untuk mengisi dan memberikan arahan sesuai dengan perkembangan zaman, bila semua elemen masyarakat, guru orang tua serta para pemangku kebijakan memahami tugas masing-masing akan terwujud cita-cita pendidikan nasional.
*) Sabarnuddin, Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Padang
**) Karikatur by: Rihad Humala/Ketik.co.id
***) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email [email protected]. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
Hak muat redaksi