Membaca Gagalnya Calon Kepala Daerah Perempuan, Studi Kasus Pilkada Jember 2024

Editor: Mustopa

31 Oktober 2024 14:41 31 Okt 2024 14:41

Thumbnail Membaca Gagalnya Calon Kepala Daerah Perempuan, Studi Kasus Pilkada Jember 2024 Watermark Ketik
Oleh: Aprilina Arifin dan Raudhatul Adhawiyah Novita Zaini*

Menurut situs resmi Komnas HAM, Faida memulai karier di bidang medis sebagai staf di salah satu rumah sakit di Banyuwangi sebelum menjabat sebagai bupati Jember. Ia mengawali karier di rumah sakit Al-Huda, Genteng, Banyuwangi yang merupakan milik ayahnya sendiri, sebagai staf bidang pelayanan medis.

Posisinya lalu naik menjadi wakil kepala bidang pelayanan medis (1996-1998). Kemudian, ia menjadi Kepala Bidang Farmasi RS Al-Huda pada tahun 1998 hingga 1999. Ia lalu menjadi kepala Puskesmas Tulungrejo, Glenmore pada 2001 hingga 2004. 

Setelah itu ia kembali lagi ke RS Al-Huda sebagai direktur medis hingga tahun 2009 dan naik menjadi Chief Executive Officer (CEO) hingga saat ini. Ia juga menjadi direktur utama di RS Bina Sehat Jember dan mengepalai Bina Sehat Training Center, sebuah lembaga pendidikan perawat khusus untuk dikirim ke luar negeri.

Sebagai seorang dokter ia juga membuat sebuah buku berjudul Bukan Perawat Biasa. Anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Almarhum dr. Musytahar Umar Thalib dan Widad Thalib ini dikenal akan kepeduliannya terhadap rakyat kecil khususnya pada bidang kesehatan.

Alhasil, hal ini telah mengantarkannya untuk memenangkan sejumlah penghargaan, salah satunya ialah Tokoh Nasional Berdedikasi untuk Kesehatan. Tak hanya bidang kesehatan, Faida juga tergolong peduli terhadap isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

Sejak Tahun 2015 dalam menyebarluaskan nilai-nilai HAM di kalangan pemangku kebijakan dan kewenangan di daerah baik pada level kabupaten, kota maupun provinsi, Festival HAM telah menjadi gelaran tahunan Komnas HAM. 

Pada tanggal 19 sampai dengan 21 November 2019 gelaran Festival HAM dipusatkan di Jember dengan mengusung tema “Pembangunan Daerah Berbasis HAM dan Berkeadilan Sosial dengan Pendekatan Budaya”. 

Ketika berbicara mengenai kota di timur pulau Jawa ini, tak terlepas dari sosok dr. Hj. Faida, MMR. Tidak hanya berpenampilan menarik, perempuan berkerudung ini rupanya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap isu-isu hak asasi manusia.

Tak sedikit upaya yang telah ditempuh dan dilalui oleh Faida guna membela hak-hak masyarakat Jember akan tanah yang mereka tinggali. Faida menempuh jalur non litigasi. Beliau telah membangun kesepakatan dengan masyarakat setempat untuk menolak operasional tambang emas di Blok Silo. 

Tidak hanya itu, ia pun berjanji memenuhi tuntutan warga untuk segera menerbitkan peraturan daerah bebas tambang bagi Kabupaten Jember. Perjuangan Bupati Jember beserta masyarakat pun berbuah manis dengan dicabutnya izin tambang emas di Kabupaten Jember pada tahun 2018 lalu. 

Peran aktif Faida dalam upaya mendorong pemenuhan hak asasi manusia di Kabupaten Jember pun terdengar gaungnya sampai mancanegara. Beliau menjadi satu-satunya bupati dari Indonesia yang diundang pada forum PBB untuk membicarakan perihal isu “Sustainable Development Goals” (SGD’s) yang diselenggarakan pada Bulan Juni 2019 lalu.

Faida juga menuai banyak pujian karena sikap toleran yang ia anut. pada tahun 2018 lalu, beliau sempat mengadakan buka puasa bersama di sebuah Gereja Katolik Santo Yusuf di Jember. Melalui kegiatan tersebut, ia memiliki harapan yang besar agar tali persaudaraan dengan sesama umat beragama di Jember dapat terjalin kendati berada dalam suasana perbedaan. 

Setelah belasan tahun berkecimpung dalam bidang kesehatan, tepat pada tahun 2016 silam sosok dr. Hj. Faida, MMR memutuskan untuk terjun ke dunia politik dengan mendaftarkan diri sebagai Bupati Jember untuk periode tahun 2016 sampai dengan 2021.

Saat menjadi Bupati Jember, Faida dikenal sebagai figur perempuan yang telah berdaya dan menghadirkan banyak inovasi di pemerintahan daerah. Faida membawa perubahan dengan fokus transparansi, keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat. 

Faida menunjukkan sikap kepemimpinan yang tegas namun tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Faida seringkali tampil sebagai sosok perempuan yang proaktif dalam menangani banyak isu seperti isu sosial, kesehatan, dan pendidikan. 

Kepiawaian dan keberanian Faida dalam berkomunikasi menginspirasi banyak perempuan untuk tidak ragu berperan aktif dalam ranah publik dan politik. 

Faida lahir pada 19 September 1968 di Tajinan, Malang, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara pasangan dr. Musytahar Umar Thalib dan Widad Thalib. Ayahnya yang bekerja dokter dan pengelola rumah sakit menggembleng dirinya dengan keras, diceritakan bahwa ayahnya pernah menguji Faida bermain catur dengan dua papan. 

Faida mengawali pendidikannya di MI Nurul Huda Krikilan, Glenmore, Banyuwangi lalu pindah ke sebuah SD Negeri di Kalibaru. Lulus SD pada tahun 1981, ia melanjutkan pendidikan ke SMP Kalibaru dan SMA Negeri 1 Jember (lulus 1987). 

Ia juga sempat mondok di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo pada tahun 1984. Ia lalu masuk Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan lulus pada 1994. Kemudian masuk ke Pascasarjana UGM dan memperoleh gelar Magister Manajemen Rumah Sakit (MMR) pada tahun 1998.

Pada tahun 2024, Faida gagal mencalonkan dirinya sebagai calon Bupati perempuan di Jember karena banyak faktor yang cukup kompleks, baik dari aspek hukum maupun dari aspek politik. Salah satunya yaitu tidak terpenuhinya syarat dukungan dari partai politik maupun jalur independen yang merupakan syarat wajib dalam proses mengikuti pemilihan kepala daerah. 

Selain itu, dalam periode kepemimpinannya, Faida menghadapi beberapa konflik dengan DPRD Jember dan mempengaruhi stabilitas dan efektivitas pemerintahannya. Beberapa faktor tersebut membuat upaya Faida untuk kembali mencalonkan diri sebagai Bupati Jember semakin sulit, terutama karena dukungan partai politik menjadi aspek penting dalam pengusungan calon kepala daerah. 

Meski demikian, sosok Faida sebagai calon perempuan yang pernah menduduki posisi Bupati memberikan jawaban tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam politik lokal.

Kasus ini mencerminkan realitas bahwa perempuan seringkali menghadapi hambatan struktural yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, terutama dalam menjaga dukungan dan mempertahankan pengaruh di tengah-tengah dinamika politik di Indonesia yang bersifat dinamis.

*) Aprilina Arifin S.Sos dan Raudhatul Adhawiyah Novita Zaini A.AP merupakan mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Program Magister Kajian Wanita Universitas Brawijaya

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Faida