Miras Tradisional: Antara Spiritualitas dan Kreativitas

Editor: Mustopa

16 Juli 2024 00:00 16 Jul 2024 00:00

Thumbnail Miras Tradisional: Antara Spiritualitas dan Kreativitas Watermark Ketik
Oleh: Mujiono Koesnandar*

Di Indonesia, minuman beralkohol dikenal dengan nama baram, brem, ballo, moke, legen, laru, saguer, sageru, tuo mbanua, tuak, arak, anding, ciu, lapen, tuo nifaro, swansrai, dan sopi.

Di antara jenis minuman tradisional di atas, sopi mendapatkan tempat istimewa karena kepopulerannya. Sopi merupakan pengucapan lokal dari Bahasa Belanda zoopje yang berarti alkohol cair. Sopi adalah minuman alkohol tradisional ikonik dari Sulawesi Utara, Maluku, dan NTT.

Sementara itu, pada catatan harian Kompas di Sulawesi Utara Januari 2022 disebut bahwa nama cap tikus mencerminkan wajah orang-orang yang tengah meminum sopi yang sedikit mabuk dan nampak seperti tikus.

Cap tikus yang awalnya diolah dan dikembangkan secara kerakyatan sekarang masuk ke pasar secara legal. Pada 2019 Pemkab Minahasa Selatan menghubungkan PT Cawan Mas dengan petani Cap Tikus yang melahirkan produk sopi dengan merek Cap Tikus 1978.

Nama cap tikus digunakan sebagai nama minuman keras di Kawasan Maluku Utara termasuk di Halmahera Selatan yang secara kedekatan historis dan budaya begitu erat. Sehingga tidak heran minuman tradisional di Halmahera selatan juga sering disebut sebagai cap tikus.

Minuman beralkohol sering kali disebut memiliki fungsi sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat yaitu memperat rasa kebersamaan dan persaudaraan sebagai anggota masyarakat.

Maka konsumsi minuman beralkohol tidak hanya merupakan keinginan individu atau beberapa orang semata, tetapi menjadi gaya hidup masyarakat yang mengandung unsur kekeluargan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan .

Penelitan yang dilakukan oFrans Yerkohok dkk tentang Budaya Konsumsi Minuman Beralkohol (2020) adalah bahwa remaja, mahasiswa, dan masyarakat mengetahui dampak negatif minuman beralkohol bagi kesehatan, tetapi mereka tetap mengkonsumsinya.

Sikap mereka ialah tidak peduli tentang bahaya minuman keras pada kesehatannya, dan sering kali tindakannya sering menjurus pada kekerasan. Tujuannya untuk menumbuhkan rasa percaya diri, sebagai hobi, menghilangkan stres, memupuk rasa kebersamaan, dan memperat relasi persaudaraan. 

Pada umumnya faktor lingkungan sosial dominan pengaruhnya pada perilaku konsumsi minuman beralkohol pada masyarakat. Tidak heran ketika aktivas mengkonsumsi minuman keras ini sering terjadi di kalangan muda hingga tua, dan lebih parahnya dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Sehingga kegiatan ini dianggap oleh beberapa orang sebagai budaya atau kearifan lokal. 

Anggapan ini berbanding terbalik dengan ungkapan Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo yang menampik bahwa minuman keras (miras) beralkohol merupakan budaya atau kearifan lokal dari suatu daerah. Menurut dia, secara harfiah, kearifan lokal adalah perilaku kolektif yang bijak dan tumbuh di komunitas lokal serta bernuansa positif.

Ungkapan ini mungkin saja benar dan bisa saja kurang tepat, dikarenakan untuk beberapa daerah misalnya di Sebagian Nusa Tenggara Timur dijadikan sebagai upacara adat. Dari sisi spiritual, minuman alkohol tradisional menjembatani hubungan manusia dengan leluhur atau penguasa alam.

Minuman dipersembahkan dan juga dinikmati bersama dalam porsi yang cukup sebagai ungkapan syukur. Alkohol tradisional sekaligus menjadi simbol status sosial. Misalnya saja kedudukan moke ba’i dalam upacara leluhur keda kanga pada Orang Lio di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Sedangkan Arak Bali dijadikan sebagai warisan budaya Bali dibuktikan dengan ditetapkannya menjadi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2022.

Di Tuban Jawa Timur ada yang namanya legen dan tuwak dikonsumsi lintas usia dan gender yang sudah menjadi kearifan lokal dan pemerintah kota memberikan toleransi pada kegiatan konsumsi minuman keras asalkan tidak membuat gaduh.

Selain itu, legen dan tuak ini juga diangap turut menciptakan jaringan sosial yang dikenal dengan bolo ngombe (teman minum). Jejaring ini dianggap baik untuk berbagi informasi mencari pekerjaan. 

Berbeda denga Tuban, ara’ atau arak dikonsumsi sebagai penambah daya tubuh pada masyarakat Buton. Suku bangsa pelayar ini mengonsumsi arak yang dihasilkan dari melimpahnya pohon aren dan enau di daerah mereka.

Dari beberapa aktivitas dengan miras tradisional menggunakan pendekatan spiritulitas dan humanitas pada beberapa daerah yang sudah disebutkan diatas menjadi pertanyaan besar hingga saat ini adalah apakah berbanding lurus dengan semakin maraknya aktivitas konsumsi miras tradisional di kabupaten Halmahera Selatan.

Untuk membahas tentang konsumsi miras terhadap aspek spiritualitas humanitas dan kreativitas di Halmahera selatan apakah dalilnya sama dengan daerah-daerah yang penulis sudah jelaskan di atas atau tidak. Kalaupun tidak lantas kenapa kebiasan konsumtif miras tradisional ini masih marak yang pada akhirnya di normalisasi. 

Atas landasan apa sehingga perilaku ini di anggap lumrah terjadi di kalangan remaja hingga dewasa. Pertanyaan kedua apakah akan muncul unsur kreativitas ketika mengonsumi miras ataukah sebaliknya. Ketika tidak terdapat hal tersebut maka miras tradisional ditolak sebagai budaya atau kebiasaan di Halmahera Selatan (dianggap sebagai budaya oleh peminum) dan ditolak sebagai spiritualitas dalam hal ini bukan pada kegiatan keagamaan melainkan kegiatan adat setempat.

Pada kenyataannya di Halmahera selatan tidak adanya unsur kegiatan adat yang mengharuskan meminum miras tradisional, layaknya yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia seperti Bali (Dalam upacara keagamaan, arak digunakan dalam ritual, bernama Bhuta Yadnya sebagai persembahan kepada Tuhan) dan NTT .

Hal ini dikarenakan kegiatan spiritual hanya menyentuh pada unsur keagamaan karena daerah Halmahera Selatan yang dikonotasikan sebagai daerah kesultanan yang menjunjung tinggi ajaran Islam dan penghormatan terhadap sultan menunjukan tidak adanya keterkaitan dengan spiritualitas pada miras tradisional.

Apalagi sekarang ini Halmahera Selatan mengadakan kegiatan rutin yakni Festival Marabose yang secara singkat mengulang kembali kesejarahan asal muasalnya Kesultanan Bacan. Yang mana dikegiatan ini tidak ada sama sekali unsur harus mengkonsumsi miras sebagai bagian dari upacara adatnya.

Maka dari itu alasan konsumsi karena spiritualitas (adat) otomatis dianggap gugur. Kegiatan adat lainnya di Halmahera Selatan tidak mewajibkan miras sebagai salah satu syarat sah.

Yang kedua, ialah miras tradisional hubungannya dengan kreativitas, belum adanya penelitan mutakhir yang menunjukan bahwa dengan mengkonsumsi miras ini akan meningkatkan daya kreatifitas. Tetapi ada sebagian alkoholik menyebut mereka baru bisa berfikir apabila sudah menenggak miras. Mereka menganggap miras memiliki kemampuan untuk mengeluarkan semua potensi dan rasa percaya diri untuk mengekspresikan dirinya.

Akan tetapi kita akan menemukan banyak sekali penelitian tentang dampak dari miras ini akan mengarah pada kegiatan yang kurang baik atau negatif karena akan menurunkan tingkat kesadaran sehingga akan sulit berkreasi malah sebaliknya akan melakukan tindak yang kurang baik apalagi tidak terkontrol, seperti tindak kejahatan kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan dan lain lain. 

Data yang disebutkan oleh Polri tahun 2020 menyebutkan bahwa tindak kejahatan karena miras atau alkohol yang terjadi dari tahun 2018 hingga 2020 tercatat ada 223 kasus.  

Penulis mengetahui bahwa tulisan ini tidak akan memberikan efek jera atau apapun itu terhadap alkoholik. Tetapi pada kesempatan yang baik ini penulis hanya ingin memberikan cara pandang yang kita tarik dari sisi spiritual dan kreativitas yang tumbuh di masyarakat sebagai kegiatan kolektif yang mana masyarakatnya serba mewajarkan dan menjadikannya sebagai satu kebiasaan. 

Hal ini harusnya diputus mulai dari sekarang agar nanti masa depan Halmahera Selatan mampu menjauhkan kebiasaan konsumsi miras pada generasi muda. Dengan begitu, Halsel menjadi percontohan bagi daerah-daerah lainya untuk memutus rantai ini.

Karena dikhawatirkan akan menjadi satu kebiasaan yang diwajarkan suatu hari nanti. Akan menjadi budaya ketika perilaku yang dilakukan tersebut bisa memiliki dampak baik pada sosial.

Menurut hemat penulis bahwa dalam rangka penanggulangan masifnya konsumsi miras pada kalangan muda di Halmahera Selatan bukan hanya tugas pihak kepolisian dan Satpol PP, melainkan ialah dengan keterlibatan aktif Gemasuba (Generasi Muda Kesultanan Bacan). Kenapa demikian? karena menurut penulis Gemasuba sebagai garda terdepan menjaga trah dan ruh kesultanan Bacan dan Halmahera Selatan secara umum. 

Diharapkan Gemasuba melakukan upaya menjaga generasi muda dengan bertindak secara terukur dan massif dalam rangka mengurangi aktivitas miras ini di tanah Bacan. Kenapa penulis mengatakan hal demikian? karena sejahat-jahat dan senakal-nakal warganya akan tunduk dan patuh pada titah kesultanan. 

Razia tidak hanya dilakukan pada bulan Ramadan, tetapi dilakukan berkelanjutan. Dengan demikian, niscaya mampu menjaga generasi muda di masa mendatang.

*) Mujiono Koesnandar adalah putera Halmahera Selatan dan pernah menjabat senagai Ketua BEM Universitas Muhammadiyah Jakarta

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)
     

Tombol Google News

Tags:

miras Tradisional Spiritualitas Kreativitas Mujiono Koesnandar