Revolusi Pengaturan PHK: Perubahan dalam UU Cipta Kerja

Editor: Naufal Ardiansyah

22 Oktober 2023 11:03 22 Okt 2023 11:03

Thumbnail Revolusi Pengaturan PHK: Perubahan dalam UU Cipta Kerja Watermark Ketik
Oleh: Sasi Kirana Zahrani*

Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja telah mengubah banyak sekali komponen tentang ketenagakerjaan di Indonesia. Hukum menjadi sangat penting di Indonesia karena kehadirannya mengatur mengenai tata cara berperilaku dan berkehidupan sebagai sebuah negara berdaulat.

Indonesia merupakan sebuah negara hukum yang memahami dan mengadopsi berbagai jenis hukum untuk dapat memberikan pengaturan atas segala hal yang ada dan terjadi. Aktivitas ketenagakerjaan menjadi salah satu hal yang diatur berdasar hukum. Berdasarkan hal ini, maka setiap orang membutuhkan hukum yang mengatur mengenai ketentuan di dalamnya terkait ketenagakerjaan.

Kondisi dunia dan negara yang kian hari semakin berubah menjadikan hukum juga harus mengikuti perkembangan zaman. Indonesia merupakan sebuah negara dengan sistem hukum yang mengikuti perkembangan zaman di mana dengan konsep ini masyarakat Indonesia ataupun hukum di Indonesia akan terus mengalami perubahan dengan konstitusional terbuka.

Hal ini berarti bahwa pemerintah akan terus melakukan perubahan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan seiring dengan berjalannya waktu dengan tujuan untuk terus memberikan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Salah satunya dalam hal ini menyangkut masalah ketenagakerjaan seperti kemunculan Undang-Undang Cipta Kerja. Masalah yang kerap kali dibahas dalam hal ketenagakerjaan adalah pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK). Hadirnya PHK ini menjadi salah satu poin penting dalam Undang-Undang Cipta kerja yang mengalami perubahan dari regulasi sebelumnya. Lalu bagaimanakah perubahan yang ada dan terdapat dalam Undang-Undang Cipta kerja mengenai PHK? Bagaimana sifat dari hadirnya perubahan tersebut?

Artikel ini ditujukan sebagai sebuah upaya yang diharapkan dapat membantu menjawab adanya pertanyaan mengenai PHK pasca hadirnya Undang-Undang Cipta kerja. Sebab seperti yang telah kita ketahui, hadirnya peraturan perundang-undangan ini cukup kontroversial. Sehingga poin penting mengenai PHK yang marak terjadi akhir-akhir ini tampaknya perlu untuk diulas dengan lebih dalam.

Pemutusan hubungan kerja atau yang kerap dikenal dengan PHK merupakan sebuah kondisi yang sangat tidak diinginkan oleh para pekerja. PHK secara definisi dapat diartikan sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dengan perusahaan.

Artinya seseorang yang tengah bekerja kepada orang lain apabila terkena PHK maka ia kehilangan pekerjaannya. Sebagai upaya perlindungan, pemerintah Indonesia membuat adanya peraturan perubahan mengenai PHK yang kemudian dapat dijadikan acuan oleh pemberi kerja untuk tetap memberikan hak yang seharusnya kepada pekerja.

Poin-poin perubahan tersebut di antaranya adalah PHK tanpa penetapan pengadilan adalah suatu hal yang batal demi hukum tidak lagi terjadi. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwasanya ketika dilakukan PHK, maka pekerja berhak atas kompensasi berupa uang pesangon maupun uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

Di sisi lain ketika terjadi sebuah pemutusan hubungan kerja ini, maka tidak perlu melakukan terlebih dahulu upaya untuk masuk ke dalam Balai Sidang. Sehingga hanya dilakukan pemberitahuan dan ketika pekerja tidak menolak pemberitahuan tersebut maka pemutusan hubungan kerja tersebut bisa dilakukan.

Namun ketika terjadi penolakan dari pihak pekerja, maka mereka dapat melakukan upaya perundingan bipatride dan bila tidak mencapai kesepakatan dapat melakukan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Di mana sebelumnya ketika berhubungan dengan adanya PHK mengacu kepada pasal 155 Undang-Undang No. 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menegaskan adanya batal demi hukum ketika tidak melalui adanya sidang dan penetapan dari lembaga penyelesaian perkara hubungan industrial.

Dalam hal ini bisa dikatakan pemerintah memberikan kebebasan bagi perusahaan dan masyarakat sebagai pekerja untuk mengatur secara pribadi adanya pemutusan hubungan kerja yang terjadi. Mereka dapat dengan mudah melakukan penyelesaian hubungan tanpa adanya upaya untuk penetapan terlebih dahulu dari pihak yang berwenang.

Di sisi lain ketika berbicara tentang perubahan ini mengacu kepada arti dari poin-poin tersendiri, tidak hanya satu perubahan namun ada pula perubahan lain yakni jumlah dan ketentuan dari pesangon yang didapatkan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah memasukkan ketentuan baru terkait pesangon yang mana pemutusan hubungan kerja cukup dibayar 50% dari jumlah yang seharusnya.

Ketentuan ini sesuai dengan pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Cipta Kerja. Hadirnya hal ini tentunya memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap PHK yang semakin banyak terjadi di Indonesia. Namun di sisi lain ini juga memberikan kesempatan yang lebih besar kepada para perusahaan ataupun pengusaha untuk memberikan pesangon secara penuh kepada para pekerja yang diberhentikan.

Berbagai perubahan yang terjadi dalam kasus PHK berkat hadirnya Undang-Undang Cipta kerja ini tampak memberikan pengaruh yang besar, baik kepada pengusaha maupun kepada pekerja. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh besar baik dirasakan oleh pengusaha atau pihak perusahaan dikarenakan upaya PHK dapat dengan mudah dilakukan tanpa perlu melihat ataupun melibatkan pihak-pihak yang berwenang sampai keluar dari penetapan.

Kesempatan untuk mendapatkan pesangon menjadi lebih tinggi karena pengusaha ataupun perusahaan diberikan kesempatan untuk membayar dengan jumlah yang lebih rendah yakni 50% dari ketentuan sebelum hadirnya Undang-Undang Cipta kerja. Namun di sisi lain terdapat pula dampak dari penetapan aturan ini memberikan mimpi buruk bagi para pekerja karena upaya pemutusan kerja kepada pihak pekerja dianggap lebih dipermudah dan tidak memberikan hak selayaknya kepada para pekerja dalam hal jumlah pesangon yang menjadi lebih sedikit. (*)

 

*) Oleh: Sasi Kirana Zahrani, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi

Tombol Google News

Tags:

Sasi Kirana Zahrani Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Opini tentang cipta kerja UU Cipta Kerja phk