Dan, terjadi lagi. Duka lama itu terulang kembali. Sidoarjo terluka lagi. Akibat takdir rumit yang harus dijalani. Tiga pasangan bupati dan wakil bupati tidak bisa saling mengerti. Perpisahan, akankah selalu menjadi solusi.
Sudah tiga kali Bupati Sidoarjo terjerat kasus korupsi. Semua terjadi pada akhir masa jabatan. Lepas dari hakikat bersalah atau tidak, semua terjadi seiring latar belakang disharmoni antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Bupati Sidoarjo Muhdlor Ali telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK belum mengumumkannya secara resmi. Padahal, kabar penetapan tersangka berembus sejak 19 Maret lalu. Saya menerima kabar itu saat pemeriksaan dua saksi. Masing-masing saksi Chandra dan Agus.
Kabar itu berupa kutipan paragraf dari surat. Kutipan pemanggilan saksi-saksi dengan keterangan tiga tersangka tercantum di sana. Masing-masing Kepala Subbag Kepegawaian BPPD Sidoarjo Siska Wati (SW), Kepala BPPD Sidoarjo Ari Suryono, dan Ahmad Muhdlor Ali (Bupati Sidoarjo 2021--2024).
Ketiganya terjerat kasus pemotongan insentif aparatur sipil negara (ASN) di BPPD Sidoarjo. Pemotongan insentif pajak itu dilakukan setiap 3 bulan sekali. Insentif hak masing-masing pegawai BPPD Sidoarjo ”kena sunat” antara 10 sampai 30 persen. Para ASN mengeluh. Tapi, mereka tidak berani protes.
Khusus selama 2023, jumlah pemotongan insentif ASN BPPD Sidoarjo itu mencapai Rp 2,7 miliar. Untuk apa uang tersebut? KPK menyebutkan uang itu digunakan untuk keperluan kepala BPPD Sidoarjo. Bahkan, disebutkan bahwa uang itu dominan untuk kebutuhan Bupati Sidoarjo. Artinya, Bupati Sidoarjo dinilai tetap ikut bertanggung jawab.
Apa sebenarnya yang terjadi sehingga tiga Bupati Sidoarjo sampai terjerat perkara korupsi? Kasus yang dihadapi Pak Win Hendrarso sangat berbeda. Yang menangani adalah kejaksaaan. Tidak ada operasi tangkap tangan (OTT).
Menjelaskannya butuh sangat panjang. Kabarnya, pengusutan itu tidak lepas dari pembelaan Pak Win kepada korban lumpur panas Porong. Terutama terkait nilai tanah dan bangunan warga yang harus diganti rugi. Ada yang geregetan. Dendam. Benar atau tidak, wallahu a’lam.
Perkara dua Bupati Sidoarjo berikutnya, Bupati Saiful Ilah dan Bupati Muhdlor, ditangani oleh KPK. Dua-duanya juga didahului dengan OTT. Soal bersalah atau tidak, pada akhirnya itu merupakan ranah KPK. Asas praduga tidak bersalah tetap dijunjung tinggi. Vonis ada di tangan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Poinnya adalah mengapa tragedi ini terjadi dan terjadi lagi. Dalam diskusi-diskusi ringan, disebutkan ada semacam ”kutukan” terhadap Sidoarjo. Yaitu, Bupati Sidoarjo akan selalu terkena kasus korupsi di akhir masa jabatannya. Dan, di balik itu, terjadi isu perpecahan dengan wakil bupatinya.
”Sidoarjo ini tanah sengketa. Takdirnya seperti itu.”
Begitulah ungkapan beberapa teman. Merunut sejarah, ungkapan ”tanah sengketa” itu berasal dari masa Kerajaan Kahuripan pada abad ke-11. Pendirinya adalah Raja Airlangga. Ini merupakan kelanjutan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur.
Ibu kota kerajaan tersebut terletak di Kahuripan, sekitar wilayah Kabupaten Sidoarjo sekarang. Umur Kerajaan Kahuripan sangat pendek. Sebab, satu-satunya penguasa adalah Raja Airlangga sendiri.
Nah, pada 1045, Raja Airlangga memutuskan turun tahta dan menjadi pertapa. Kemudian membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian. Yaitu, Kerajaan Jenggala di Kahuripan dan Kerajaan Panjalu di Daha, Kediri. Masing-masing diberikan kepada kedua putranya. Tujuannya adalah menghindari perang saudara.
Namun, fakta yang terjadi berbeda. Dua kerajaan pecahan Kerajaan Kahuripan tersebut justru terlibat peperangan. Selalu bersengketa. Hingga beberapa dekade. Sampai akhirnya, Kerajaan Jenggala kalah. Lalu, berada di bawah kekuasaan Kerajaan Panjalu. Simbol kemenangan Kerajaan Panjalu itu diabadikan dalam Prasasti Ngantang di Malang.
Benarkah perselisihan pemimpin Sidoarjo itu terulang? Bupati Win Hendrarso (2000-2005 dan 2005-2010) pernah berselisih dengan Wabup Saiful Ilah. Hampir pisah di periode pertama. Sebab, pada 2005, isu-isu perpecahan antara Bupati Win dan Wabup Saiful sudah santer. Tapi, perpecahan itu bisa dicegah. Berbagai pihak turun tangan. Para tokoh, ulama, dan jurnalis ikut terlibat mencegahnya. Keduanya pun tetap maju bersama pada Pilkada 2005. Pembangunan Sidoarjo berlanjut meski porak-poranda akibat tragedi lumpur panas.
Berikutnya, Bupati Saiful Ilah juga berpisah dengan Wabup M.G. Hadi Sutjipto (2010-2015). Hanya bisa bersama satu periode. Wabup Hadi Sutjipto memutuskan maju dan bersaing dengan Saiful Ilah di Pilkada 2015.
Lalu, Bupati Saiful Ilah dengan almarhum Wabup Nur Ahmad Syaifudin (2016-2021). Almarhum Cak Nur, dengan kenangan mulia dan budi luhurnya, meninggal akibat Covid-19.
Yang sekarang terjadi pun, kabarnya, demikian. Bupati Muhdlor tidak sejalan lagi dengan Wakil Bupati H Subandi. Sama-sama maju lewat PKB pada 2020, mereka berbeda pilihan pada Pilpres 2024. Bupati Muhdlor pun dipecat dari PKB. H Subandi tetap memimpin DPC PKB Sidoarjo hingga saat ini.
Menjelang Pilkada 2024 ini pun, kabar perpisahan Bupati Muhdlor dan Wabup H Subandi pun semakin santer. Bupati Muhdlor dikabarkan sudah dipinang partai lain. Namun, masalahnya, Bupati Muhdlor masih terjerat perkara di KPK. Komisi Antirasuah telah menetapkannya sebagai tersangka.
Mungkin, ada upaya gugatan praperadilan. Bisa menang, bisa pula kalah di pengadilan. Tapi, apakah Bupati Muhdlor akan maju lagi di Pilkada 2024? Beban moral akan terasa berat di pundaknya yang masih kokoh.
Badai politik bakal terus mengembuskan isu tersebut. Tiada henti. Tanpa ampun. Karir politiknya terancam kandas. Dengan banyak prestasi yang diukirnya. Sekaligus masalah-masalah yang ditinggalkannya.
Tentu kita tidak ingin karir politik Bupati Sidoarjo terus berakhir duka. Setiap pasangan pemimpin berujung perpecahan. Lebih-lebih, bila nasib setiap bupati ditakdirkan menjadi sad story. Nestapa bagi Kota Delta.
Monumen Jayandaru, monumen wahyu kejayaan, yang berdiri megah di Alun-Alun Sidoarjo. (Foto: Fathur Roziq/Ketik.co.id)
Kita berharap. Akan ada akhir bagi semua ”kutukan” ini. Kabupaten Sidoarjo harus dipimpin seorang Bupati yang membawa kemenangan. Kemenangan bersama. Kemajuan untuk seluruh penduduknya. Sidoarjo sejahtera bagi semuanya. Tetap bersama di awal hingga akhirnya.
Bupati-bupati berikutnya kita harapkan mampu mengemban amanah. Terjaga dari bencana. Mewadahi wahyu berjuluk Jayandaru. Wahyu Kemenangan. Wahyu Kejayaan. Siapakah sosok itu?
*) Fathur Rozi, redaktur dan jurnalis senior Ketik.co.id yang bertugas di Sidoarjo
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
*) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
**) Ketentuan pengiriman naskah opini:
* Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
* Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
* Panjang naskah maksimal 800 kata
* Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
* Hak muat redaksi